Selasa, 27 November 2012

pangkalan udara dan bandar udara


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKNG

Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter dapat lepas landas dan mendarat. Suatu bandar udara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landasan pacu atau helipad ( untuk pendaratan helikopter), sedangkan untuk bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya seperti bangunan terminal dan hanggar.

Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization) : Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (Persero) Angkasa Pura I adalah lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat.

Perkembangan Bandara

Pada masa awal penerbangan, bandara hanyalah sebuah tanah lapang berumput yang bisa didarati pesawat dari arah mana saja tergantung arah angin.Di masa Perang Dunia I, bandara mulai dibangun permanen seiring meningkatnya penggunaan pesawat terbang dan landas pacu mulai terlihat seperti sekarang.Setelah perang, bandara mulai ditambahkan fasilitas komersial untuk melayani penumpang.

Sekarang, bandara bukan hanya tempat untuk naik dan turun pesawat.Dalam perkembangannya, berbagai fasilitas ditambahkan seperti toko-toko, restoran, pusat kebugaran, dan butik-butik merek ternama apalagi di bandara-bandara baru. Penamaan dan Kode Bandara

Setiap bandara memiliki kode IATA dan ICAO yang berbeda satu sama lain. Kode bisa diambil dari berbagai hal seperti nama bandara, daerah tempat bandara terletak, atau nama kota yang dilayani. Kode yang diambil dari nama bandara mungkin akan berbeda dengan namanya yang sekarang karena sebelumnya bandara tersebut memiliki nama yang berbeda.

Fungsi bandara merupakan  tempat lepas  landas, mendarat pesawat udara, dan pergerakan di darat pesawat udara. Disamping itu Bandar udara merupakan simpul dari system transportasi udara. Perencanaan, pembangunanan dan pengoperasian suatu Bandar udara harus memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan yang secara internasional tercantum dalam Annex 14 Convention on International Civil Aviation (Vol I : Aerodrome dan Vol II : Heliport).

Ketentuan ini diadopsi dalam ketentuan nasional  berupa Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara dan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara terkait lainnya.

Pengoperasian Bandar udara sesuai ketentuan keselamatan penerbangan dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pengoperasian pesawat udara di Bandar udara. Berkaitan dengan hal tersebut,  Penyelenggara Bandar udara mempunyai kewajiban, sesuai ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation) 139 : Aerodrome, yaitu :

  1. Memenuhi standar dan ketentuan terkait pengoperasian Bandar udara, termasuk arahan Ditjen Pehubungan Udara yang disampaikan secara tertulis;
  2. Mempekerjakan personil pengoperasian Bandar udara yang memiliki kualifikasi/ kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dalam jumlah yang memadai;
  3. Menjamin Bandar udara (aerodrome) dioperasikan dan dipelihara dengan tingkat  perhatian  sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  4. Mengoperasikan dan memelihara Bandar udara sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Aerodrome Manual.

Ditjen Perhubungan Udara melakukan pembinaan dalam pengoperasian Bandar udara berupa penerbitan Sertifikat Operasi Bandar Udara bagi Bandar udara yang telah memenuhi kewajiban tersebut di atas, serta melakukan pengawasan berupa audit atau inspeksi secara berkala.

Secara luas termasuk dalam pengertian Bandar udara (aerodrome) adalah heliport (tempat atau struktur yang digunakan untuk lepas landas, mendarat dan pergerakan di darat helicopter).

Penyelenggara Bandar Udara,  antara lain adalah Badan Usaha Kebandarudaraan (PT. Angkasa Pura I dan II), Ditjen Perhubungan Udara (Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhubungan Udara), Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota, serta Badan Hukum Indonesia.

A. STANDAR DAN KETENTUAN PENGOPERASIAN BANDAR UDARA

Standar dan ketentuan berkaitan dengan pengoperasian bandar udara, termasuk pengoperasian heliport,  yaitu:

  1. Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
  2. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan;
  3. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan;
  4. Keputusan Menteri Perhubungan No. 47 Tahun 2002 tentang Sertifikat Operasi Bandar Udara;
  5. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/100/XI/1985 tentang Peraturan Tata Tertib Bandara;
  6. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/13/II/1990 tentang Standar Rambu Terminal Bandar Udara;
  7. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/21/I/1995 tentang Standar Sistem Pemanduan Parkir Pesawat Udara (Aircraft Docking Guidance System/ ADGS)
  8. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/04/I/1997 tentang Sertifikasi Kecakapan Pemandu Parkir Pesawat Udara, Sertifikasi Operator Garbarata dan Sertifikasi Kecakapan Operator Peralatan Pelayanan Darat Pesawat Udara.
  9. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/130/VI/1997 tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Helideck.
  10. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/94/IV/1998 tentang Persyaratan Teknis dan Operasional Fasilitas Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadan Kebakaran;
  11. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/57/IV/1999 tentang Pemindahan Pesawat Udara Yang Rusak di Bandar Udara;
  12. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/112/VI/1999 tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Elevated Heliport;
  13. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/140/VI/1999 tentang Prosedur Kendaraan Darat dan Pergerakannya Di Sisi Udara;
  14. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/262/X/1999 tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Surface Level Heliport;
  15. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/345/XII/1999 tentangSertifikat Kecakapan Petugas dan Teknisi Perawatan Kendaraan PKP-PK serta Petugas Salvage;
  16. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/75/III/2001 tentang Persyaratan Teknis Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment);
  17. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/11/2001 tentang Standar Marka dan Rambu pada Daerah Pergerakan Pesawat Udara di Bandar Udara;
  18. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 93 Tahun 2001 tentang Persyaratan Badan Hukum Indonesia Sebagai Pelaksana Pengujian Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/ GSE);
  19. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/28/IV/2003 tentang Sertifikat Kecakapan Pelayanan Pendaratan Helikopter (Helicopter Landing Officer/ HLO);
  20. Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/76/VI/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Perhubungan No. 47 Tahun 2002 tentang Sertiikasi Operasi Bandara.

B. PERSONIL PENGOPERASIAN BANDAR UDARA

Setiap penyelenggara bandara wajib mempekerjakan personil pengoperasian bandar udara yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Kualifikasi dan kompetensi personil pengoperasian bandar udara dibuktikan dengan Sertifikat Tanda Kecakapan Personil (STKP/SKP) yang masih berlaku.STKP/ SKP ini harus dibawa setiap menjalankan kegiatannya dan dapat ditunjukkan setiap kali dilakukan inspeksi.

  1. STKP/ SKP pengoperasian bandar udara, termasuk heliport yang diterbitkan oleh Ditjen Perhubungan Udara antara lain:
  2. STKP Operator Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/ GSE);
  3. STKP Pemandu Parkir Pesawat Udara (Marshalling);
  4. STKP Apron Movement Controller;
  5. STKP Helicopter Landing Officer.

Untuk mendapatkan STKP/ SKP, seseorang harus mengikuti diklat, sesuai dengan kompetensi yang ingin dimiliki, yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Perhubungan Udara di seluruh Indonesia, Ditjen Perhubungan Udara atau Badan Hukum Indonesia yang telah mendapatkan otorisasi untuk menyelenggarakan Diklat yang dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Udara. Setelah mengikuti Diklat, seseorang harus diuji kompetensi dan ketrampilannya oleh Tim Ditjen Perhubungan Udara. Bagi peserta yang memenuhi syarat akan diterbitkan STKP/SKP.

Persyaratan untuk mendapatkan STKP/SKP sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan terkait.

C. PERALATAN DAN FASILITAS BANDAR UDARA

Setiap peralatan dan fasilitas yang dioperasikan pada bandar udara harus dipelihara sehingga memenuhi standar yang berlaku. Inspeksi terhadap bandara/ aerodrome untuk memastikan bahwa bandara/ aerodrome dapat melayani pesawat udara dengan selamat, terutama pada keadaan :

  1. Setelah terjadi angin kencang, badai dan cuaca buruk lainnya;
  2. Segera setelah terjadinya kecelakaan atau insiden pesawat udara di aerodrome;
  3. Saat diminta oleh Ditjen Perhubungan Udara.



Adapun yang dimaksud dengan peralatan dan fasilitas bandar udara adalah:

  1. Fasilitas pergerakan pesawat udara, antara lain landas pacu (runway), jalan penghubung landas pacu (taxiway), dan apron;
  2. Alat bantu visual di bandara/ aerodrome, antara lain marka, rambu dan tanda yang ada di runway, taxiway dan apron;
  3. Alat bantu visual berupa lampu di aerodrome dan sekitarnya termasuk lampu untuk halangan (obstacle) yang ada di sekitar bandara (aerodrome).

Untuk menunjang pelayanan pesawat udara di darat, pada beberapa bandara tersedia peralatan penunjang operasi darat pesawat udara (ground support equipment/ GSE).Setiap jenis peralatan yang dioperasikan harus sesuai peruntukannya dan wajib memenui persyaratan teknis dan spesifikasi fungsionalnya yang dibuktikan dengan Sertifikat Kelaikan Operasi yang diterbitkan oleh Ditjen Perhubungan Udara.Jenis peralatan dan persyaratan sertifikat kelaikan operasi diatur di dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No.SKEP/75/III/2001 tentang Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/ GSE).Pengujian kelaikan peralatan dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga (Badan Hukum Indonesia) yang telah mendapatkan Sertifikat Persetujuan dari Ditjen Perhubungan Udara. Syarat dan tata cara  bagi Badan Hukum Indonesia untuk mendapatkan Sertifikat Persetujuan sebagaimana  diatur dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 93 Tahun 2001 tentang Persyaratan Badan Hukum Indonesia Sebagai Pelaksana Pengujian Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/ GSE);

Peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara yang dioperasikan pada suatu bandara dapat diusahakan oleh pihak di luar bandara.Ijin pengusahaannya dikeluarkan oleh penyelenggara bandara. 

Setiap bandar udara yang dioperasikan, wajib memiliki sertifikat operasi bandar udara. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan Sertifikat, pada bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 30 (tigapuluh) tempat duduk, adalah tersedianya Pertunjuk Pengoperasian Bandara/ Aerodrome (Aerodrome Manual). Aerodrome Manual disusun oleh Penyelenggara Bandara dalam format yang telah diatur di dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 76 Tahun 2005 (CASR 139 : Aerodrome). Aerodrome Manual berisi informasi mengenai lokasi bandar udara, informasi mengenai bandar udara yang harus organisasi penyelenggara bandar udara dan prosedur pengoperasian bandar udara.

Penyelenggara wajib mengoperasikan bandar udara sesuai dengan prosedur dalam Aerodrome Manual.Segala penyimpangan terhadap Aerodrome Manual harus dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara.

Prosedur pengoperasian bandar udara yang harus dimuat dalam  Aerodrome Manual, meliputi 17 (tujuh belas) prosedur dan langkah-langkah keselamatan sebagai berikut:

  1. Aerodrome reporting;
  2. Akses ke daerah pergerakan pesawat udara;
  3. Aerodrome Emergency Plan;
  4. Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran;
  5. Inspeksi terhadap daerah pergerakan pesawat udara dan obstacle limitation surface;
  6. Sistem kelistrikan dan alat bantu visual;
  7. Pemeliharaan daerah pergerakan pesawat udara;
  8. Keselamatan kerja di aerodrome;
  9. Manajemen pengoperasian apron;
  10. Manajemen keselamatan di apron;
  11. Pengawasan pergerakan kendaraan di sisi udara;
  12. Manajemen gangguan binatang liar;
  13. Pengawasan halangan;
  14. Pemindahan pesawat udara yang rusak;
  15. Penanganan  bahan berbahaya;
  16. Operasi pada jarak pandang rendah;
  17. Perlindungan terhadap lokasi radar dan alat bantu navigasi yang terdapat di bandara.

E. LARANGAN DAN PEMBATASAN TERHADAP HALANGAN (OBSTACLE RESTRICTION AND LIMITATION)

Yang dimaksud dengan halangan (obstacle) adalah :

  • setiap benda yang berdiri pada atau di atas daerah larangan terdapat halangan (obstacle restriction surface), seperti runway strip, RESA, clearway atau taxiway strip;
  • setiap benda yang menembus (penetrate) kawasan keselamatan operasi penerbangan (obstacle limitation surface/ OLS).

Obstacle limitation surface (OLS untuk non-instrument runway, non precision approach runway dan precision approach runway category 1 meliputi:

  1. Conical surface;
  2. Inner horizontal surface;
  3. Approach surface;
  4. Transitional surface;
  5. Take off climb surface.

Obstacle limitation surface untuk precision approach runway category 2 dan 3 meliputi:

  1. Outer horizontal surface;
  2. Conical surface;
  3. Inner horizontal surface;
  4. Approach surface;
  5. Inner approach surface;
  6. Transitional surface;
  7. Inner transitional surface;
  8. Baulked landing surface;
  9. Take off climb surface.

Penyelenggara bandara harus menetapkan obstacle limitation surface pada aerodromenya, dan mengawasi setiap obyek yang berada pada obstacle limitation surface. Bilamana terdapat pelanggaran atau potensial pelanggaran, penyelenggara bandara harus melaporkan kepada Ditjen Perhubungan Udara dan melakukan koordinasi dengan instansi atau perusahaan yang terkait dengan obyek tersebut.

Obyek atau pendirian obyek baru yang berada di luar OLS dengan ketinggian 110 meter dari permukaan tanah atau lebih harus dilaporkan kepada Ditjen Perhubungan Udara, dan obyek atau pendirian obyek baru di luar OLS dengan ketinggian di atas 150 meter dari permukaan tanah atau lebih  harus dianggap sebagai obstacle kecuali dinyatakan sebaliknya  oleh Ditjen Perhubungan Udara berdasarkan suatu assessment.

0 komentar:

Posting Komentar

AVIASI INDONESIA © 2008 Template by:
SkinCorner